Home » » Apakah Agama Bisa Menjadi Sumber Kekacauan ?

Apakah Agama Bisa Menjadi Sumber Kekacauan ?

Seringkali orang berkata:
“Tanpa agama hidup akan kacau dan amburadul.
Semua manusia akan berbuat sewenang-wenang.
Manusia akan menjadi tidak bermoral”


tulisan di atas adalah awal pembuka yg sedikit mengerutkan dahiku.... lalu...

Sejenak aku berpikir untuk terus membaca sebuah tulisan di salah satu Blog tetangga.
aku tidak mengatakan bahwa tulisan itu benar atau salah, tapi sebagai sumber makanan untuk akal ku untuk sedikit mengkaji nilai2 yg terkandung di dalamnya. bagiku semua yg aku baca, lihat, rasakan, adalah soal yg kesimpulannya ada pada diriku sendiri yg menentukan benar atau salahnya, karena bagiku benar atau salahnya bukan berada pada sebuah penilaian tapi ada pada perbuatan...

kira-kira beginilah lanjutan tulisan itu :


Seringkali orang berkata:
“Tanpa agama hidup akan kacau dan amburadul.
Semua manusia akan berbuat sewenang-wenang.
Manusia akan menjadi tidak bermoral”

Bagi saya, ungkapan itu latah.
Untuk tidak mengatakan lugu dan kampungan.

Moral, bagi saya adalah bagaimana manusia bertingkah laku
Dalam kajian filsafat dikenal dengan istilah Etika.
Yaitu kajian yang membahas bagaimana manusia berbuat, terutama kaitannya dalam relasinya dengan sesama manusia, mahkluk hidup dan lingkungan.

Lantas apa yang menjadi ukuran bahwa seseorang sudah bermoral atau beretika?

Jawabannya sangat bervariasi. Sangat luas, sebanyak jumlah rambut di kepala manusia. Karena setiap manusia, setiap kelompok, suku, golongan, daerah, bahkan dari zaman-ke zaman, akan menyusun kode etik tertentu dalam berbuat. Mana yang dianggap etis dan mana yang tidak. Baik secara legal formal maupun secara tidak tertulis. Dan paket kode etik itulah yang dirumuskan dalam bentuk konvensi sosial, misalnya adat, undang-undang, Perda dan seterusnya.

Begitu juga dengan agama.
Secara positif, dari sudut kajian kebudayaan, agama adalah semacam paket sosial, sebuah kumpulan kode etik yang diyakini oleh penganutnya. Sehingga siapa yang tidak mematuhinya akan dianggap tidak bermoral oleh suatu agama.

Lantas dari mana sumbernya?

Sumber awal biasanya bermula dari seorang tokoh kharismatik, seorang petapa, seorang mistikus, seorang guru, penguasa, komunitas dan sebagainya. Lalu kemudian menjelma menjadi anutan resmi secara bersama. Bahkan tidak jarang, akhirnya mengendap sebagai aturan yang bernilai adi kodrati, diyakini bersumber dari kekuatan ghaib, misalnya Dewa, Tuhan dan sebagainya. Akibatnya, manusia yang menganutnya menjadi patuh dan sangat takut jika melanggarnya.


Apakah itu baik?

Tentu saja baik sepanjang nilai-nilai moral yang sudah terbentuk itu memicu keteraturan dan kedamaian hidup bersama di medan sosial. Dan itu hanya bisa terjadi jika nilai-nilai moral itu bisa mewadahi semua hasrat, pemahaman dan kepentingan semua manusia. Tapi disinilah timbul persoalan. Kenyataannya nyaris tidak ada pakem agama yang sesuai untuk semua manusia, baik secara horizontal maupun secara historikal dari zaman ke zaman. Selalu terjadi benturan nilai-nilai. Antara masa lalu dengan kekinian. Antara Timur dan Barat.


Kenapa itu bisa terjadi?

Karena agama lahir dan bermula dari seorang sosok kharismatik dari suatu kaum. Kemudian menjalar secara estafet dalam suatu daerah, bangsa dan koloni tertentu. Dan berkembang dari waktu ke waktu. Karena pencetusnya berasal dari latar daerah dan budaya suatu daerah, maka secara semiotis, ajarannya lebih kurang adalah cermin dari zamannya. Pantulan dan refleksi dari latar sosial budayanya.

Seseorang yang mengatakan bahwa air itu adalah sorga, bisa dimaklumi karena dia jarang atau belum pernah mengecap hidup di tepi sungai dan pantai. Tapi bagaimana dengan orang yang menyatakan bahwa hidup di pinggir sungai itu membosankan? Karena setiap hari mereka bergulat dengan banyak tantangan dari air sungai dan pantai? Mulai dari resiko banjir, tsunami, binatang berbisa, sampah, kotoran, kuman penyakit dan seterusnya?

Seseorang bisa saja mengatakan bahwa yang indah itu adalah bergumul dengan orang-orang satu suku dan golongan. Semuanya bisa hidup rukun dan saling membantu dalam berprestasi. Tentu bisa dimaklumi karena dia hanya hidup di negeri kelahirannya. Tapi bagaimana dengan orang lain yang sudah terbiasa hidup di suatu daerah yang berkumpul banyak suku dan golongan? Dengan segala keragaman yang selalu berlalu lalang?

Itulah salah satu contoh sederhana bagaimana latar sosial budaya mempengaruhi pandangan seseorang. Dan itulah yang akan membentuk nilai-nilai dalam dirinya. Dan secara kolektif itulah yang membentuk model kesepakatan sosial. Dengan kata lain, nilai, adalah sesuatu yang relatif dan terbatas. Tidak ada nilai absolut bergaransi yang cocok untuk segala ruang dan waktu.

Saya memahami, lebih kurang begitulah nilai-nilai moral dalam suatu agama.
Relatif dan sangat kondisional.

Akan menjadi menarik dan indah jika fakta ini dipahami dan dimaklumi secara lapang dada. Akan tetapi sayangnya, seringkali penganut suatu agama begitu yakin bahwa nilai-nilai moral dalam agama yang dianutnya adalah mutlak. Bahkan ada yang meyakini bahwa tanpa memeluk suatu agama, hidup akan kacau. Tanpa agama tertentu, maka dunia seakan bisa kiamat. Bagi saya, justru keyakinan dan klaim seperti inilah yang merusak tatanan sosial. Terjadi pemaksaan kehendak. Terjadi monopoli nilai-nilai. Alih-alih akan memicu perdamaian, justru dengan beragama, pemeluk yang demikian menjadi sumber petaka moral di medan sosial. Dari sinilah munculnya sumber kekacauan itu. Buta persoalan. Latah memamah sebuah ajaran. 


-----------------------------------------
Apapun yg anda pikirkan, ambillah yg baiknya dan yg buruknya tinggalkan....
------------------------------------------------------------------------
Share this article :

No comments:

Post a Comment